Pengurangan Produksi, Tetapi Tidak Ada Tindakan Darurat dalam Pengurasan Minyak

by -1415 Views

Praktisi minyak dan gas bumi (migas) Hadi Ismoyo menilai implementasi teknologi pengurasan minyak tahap lanjut atau Enhanced Oil Recovery (EOR) pada lapangan migas RI masih cukup lambat. Padahal, cara ini dianggap cukup penting untuk meningkatkan produksi, terutama pada lapangan minyak yang sudah tua.

Menurut Hadi, penurunan produksi terjadi karena lapangan-lapangan migas di Indonesia saat ini sudah cukup tua. Sekitar 60-70% dari semua lapangan minyak yang ada merupakan lapangan yang sudah tua.

Oleh karena itu, Hadi menilai masih ada kesempatan bagi pemerintah untuk meningkatkan produksi minyak nasional. Beberapa di antaranya adalah dengan menggalakkan kegiatan eksplorasi dan menerapkan teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR).

“Pemerintah dalam hal ini masih belum mempersiapkan roadmap yang baik terkait dengan eksplorasi dan EOR. EOR itu sangat lambat perkembangannya,” kata Hadi dalam acara Energy Corner CNBC Indonesia, Selasa (7/11/2023).

Padahal, melalui teknologi ini, Hadi mengungkapkan bahwa produksi minyak bisa ditambah sekitar 200-300 ribu barel per hari selama lima tahun ke depan. Sementara itu, jika pemerintah menggalakkan kegiatan eksplorasi secara masif, maka RI bisa menemukan lapangan baru.

“Kita bisa menemukan lapangan yang baru menghasilkan rencana pengembangan alias PoD, bisa menghasilkan produksi, bisa menambah secara signifikan. Kelihatannya eksplorasi belum mendapat perhatian yang serius dari pemerintah,” jelasnya.

Sebagaimana diketahui, produksi minyak nasional hingga saat ini masih belum menunjukkan tren kenaikan yang positif. Padahal, pergantian tahun dari 2023 menuju 2024 semakin dekat.

Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan bahwa produksi minyak nasional per 5 November baru mencapai 586.110 barel per hari (bph). Sementara target produksi lifting minyak dalam APBN 2023 adalah 660 ribu bph. Artinya, produksi minyak nasional baru mencapai 89% dari target tahun ini.

Jika ditelusuri lebih jauh, produksi minyak nasional saat ini bahkan di bawah produksi pada 1968, di mana produksi pada tahun tersebut hanya sebesar 599.000 bph.

Produksi minyak RI pada 1968, berdasarkan data BP Statistical Review, mencapai 599.000 bph, sebelum mengalami peningkatan yang mencapai masa puncak pada 1977 sebesar 1.685.000 bph. Kemudian, puncak produksi kedua terjadi pada 1991 sebesar 1.669.000 bph, sebelum terus mengalami penurunan secara bertahap.

Sebelum 1968, produksi minyak RI masih berada di level 400 ribu barel per hari.

Dewan Energi Nasional (DEN) sebelumnya mengungkapkan bahwa masih terdapat sisa cadangan minyak tertinggal dalam reservoir dengan jumlah yang cukup besar. Bahkan, jumlahnya diperkirakan mencapai 40 miliar barel.

Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN) Djoko Siswanto mengatakan bahwa pihaknya memiliki beberapa strategi untuk mengurangi impor minyak mentah, terutama melalui peningkatan produksi di sektor hulu.

Beberapa strategi tersebut meliputi secondary recovery dengan penggunaan water flood, EOR, chemical, panas, elektrik, bakteri, dan vibrasi pada sumur-sumur minyak di Indonesia.

“Kita masih memiliki cadangan minyak sekitar 40 miliar barel yang belum bisa kita angkat setelah ditemukannya minyak ini, itu dengan cara yang sudah saya sebutkan tadi,” kata Djoko dalam Road to CNBC Indonesia Award 2023 Best Energy, Selasa (31/10/2023).

Selain itu, untuk mengurangi impor minyak, pemerintah saat ini juga mendorong penggunaan kendaraan listrik di masyarakat. Berbagai regulasi telah diterbitkan untuk mendukung perkembangan ekosistem kendaraan listrik di Indonesia.