Jakarta, CNBC Indonesia – Pembangkit energi baru dan terbarukan (EBT) dari panas bumi dinilai memiliki peran besar dalam upaya dekarbonisasi. Pasalnya, selain memiliki potensi yang besar, tarif dari energi panas bumi cukup terjangkau.
Berdasarkan Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN tahun 2021-2030 dan dokumen hijau Pertamina Geothermal Energy, secara keseluruhan industri panas bumi Indonesia diperkirakan akan berkontribusi hingga 16% dari total target dekarbonisasi nasional di tahun 2030. Indonesia pun perlu memaksimalkan pemanfaatan panas bumi untuk mencapai bauran energi 23% pada 2025, dan bertujuan pada realisasi Karbon Netral (Net Zero Emission) pada 2060.
Upaya ini telah dilakukan PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) selaku pengelola panas bumi. Direktur Utama PGEO Julfi Hadi menyampaikan, energi panas bumi berkembang menjadi energi terbarukan yang paling potensial untuk mengurangi karbonisasi sektor industri di Indonesia.
“Ini dikarenakan panas bumi memiliki ketersediaan terbaik di antara energi terbarukan lainnya serta dapat dikontrol. Selain itu dengan potensinya yang sangat besar di Indonesia, panas bumi mampu menjadi baseload hijau untuk sektor industri, sebagai sumber energi terbarukan strategis yang utama,” ujar Julfi beberapa waktu lalu.
Dia menerangkan PGEO akan berkontribusi terhadap 5% pengurangan karbon nasional pada 2030 serta berkontribusi 89 juta ton penghindaran CO2 selama 10 tahun ke depan. Selain itu PGEO juga memiliki inisiatif beyond geothermal untuk mendorong upaya dekarbonisasi.
“Strategi yang kami jalankan di antaranya menjajaki bisnis rendah karbon, yaitu green hydrogen dan green methanol serta mempromosikan sistem kredit karbon di Indonesia yang sedang berkembang dengan memasok kredit karbon ke aggregator utama Pertamina Geothermal Energy, yaitu Pertamina New Renewable Energy (PNRE),” ungkapnya.
Untuk memperluas dampak terhadap perjalanan dekarbonisasi di Indonesia, Julfi mengungkapkan, saat ini Pertamina Geothermal Energy sedang mengembangkan produk sekunder (secondary product) panas bumi. Beberapa produk sekunder yang sedang dikembangkan oleh Pertamina Geothermal Energy diantaranya green methanol, green hydrogen, dan ekstraksi silika.
Hingga 2026 ada tiga proyek panas bumi baru milik PGEO, yakni wilayah kerja Lumut Balai Unit 2 (1×55 MW) yang ditargetkan beroperasi di akhir 2024. Kemudian wilayah kerja Lahendong unit 7&8 (2×20 MW) yang ditargetkan beroperasi 2026.
Terakhir, wilayah kerja Hululais Unit 1&2 (2×55 MW) yang ditargetkan beroperasi pada 2026. Selain itu, PGEO juga melakukan ekspansi bisnis dengan menggandeng partner global, yakni proyek panas bumi di Kenya dan Turki yang dilirik untuk menggali potensi pengembangan panas bumi yang lebih besar serta menjadi world class geothermal champion.
PGEO merupakan pelopor geothermal Tanah Air sejak 1974 dan telah menjadi pemain terbesar di industri secara nasional dengan 13 wilayah kerja panas bumi (WKP), dengan total kapasitas terpasang sebesar 1877 Mega Watt (MW) yang dioperasikan sendiri.
Pengelolaan wilayah kerja panas bumi tersebut telah berhasil memasok listrik ke lebih dari 2 juta rumah di Indonesia dengan potensi pengurangan emisi mencapai 9,7 juta tCO2 per tahun. PGEO juga optimis bisa mencapai kapasitas terpasang 1 Giga Watt (GW) dalam dua tahun mendatang.