Spirit Airlines, maskapai berbiaya murah Amerika Serikat (AS), telah berhasil merestrukturisasi utangnya sebesar US$795 juta (Rp13 triliun) melalui negosiasi dengan para kreditur. Restrukturisasi ini dilakukan setelah Spirit berhasil menekan biaya operasionalnya, termasuk dengan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Pengurangan utang ini telah disetujui oleh mayoritas ‘super kreditor’ dan telah divalidasi oleh pengadilan kebangkrutan AS di New York. Dengan demikian, Spirit Airlines kini muncul lebih kuat dari perlindungan kebangkrutan Bab 11 dan lebih siap untuk meraih kesuksesan jangka panjang.
Selain mengurangi utangnya, Spirit Airlines juga menerima suntikan dana pemegang saham senilai US$350 juta (Rp5,7 triliun) untuk mendukung inisiatif masa depan perusahaan. Selain itu, perusahaan juga melakukan restrukturisasi saham dengan saham baru menggantikan yang lama. Diketahui, harga saham Spirit Airlines sempat mengalami penurunan hingga 90% sebelum mengajukan kebangkrutan pada November tahun lalu.
CEO Spirit Airlines, Ted Christie, mengungkapkan kegembiraannya atas resturkturisasi yang telah selesai dengan efisien dan memperkuat posisi keuangan perusahaan. Spirit Airlines telah mengalami kerugian selama 11 kuartal berturut-turut, yang memaksa perusahaan untuk mengambil langkah-langkah penghematan lainnya, termasuk menunda pengiriman pesawat dan melakukan pemotongan biaya lainnya seperti pembekuan perekrutan pilot dan awak pesawat serta melakukan PHK 200 posisi pada Januari lalu.
Meskipun Spirit Airlines berhasil meningkatkan kapasitas dan pangsa pasarnya di pasar penerbangan pasca-Covid, maskapai ini masih dihadapkan pada persaingan ketat dari maskapai lain. Pada 2022, Frontier Airlines mencoba menawarkan merger senilai US$2,9 miliar dengan Spirit Airlines, sementara JetBlue juga mengajukan tawaran yang berpotensi menguntungkan. Namun, kesepakatan dengan JetBlue gagal setelah pihak berwenang mengutip kekhawatiran antimonopoli.