Perang Saudara di China: Konflik Berujung Bumerang

by -44 Views

Perang dagang bukanlah satu-satunya bentuk perang yang terjadi di zaman modern ini. Negara China saat ini tengah mengalami perang harga di dalam negerinya, bukan hanya dengan Amerika Serikat. Perang harga ini merambah ke berbagai sektor, seperti otomotif, pengiriman makanan, dan industri panel surya. Fenomena ini, yang mirip dengan “perang saudara”, tidak hanya memengaruhi keuntungan perusahaan dan deflasi nasional, tetapi juga memunculkan dilema bagi konsumen.

Dalam situasi ekonomi yang melambat dan pasar properti yang turun, konsumen di China menjadi sangat sensitif terhadap harga. Hal ini menyebabkan produsen mobil memberikan potongan harga besar-besaran atas dorongan subsidi pemerintah. Di sektor e-commerce dan layanan pesan-antar instan, perusahaan besar seperti Alibaba, JD.com, dan Meituan bersaing dengan promosi agresif, seperti bubble tea dengan harga yang sangat murah.

Meskipun beberapa konsumen merasa diuntungkan dengan persaingan yang semakin ketat di pasar, ada juga dampak buruk yang tidak bisa diabaikan. Konsumen seperti Yu Peng merasa ketidakpastian atas penurunan harga yang terjadi. Di balik harga murah, ada biaya tersembunyi dan penurunan kualitas yang mengkhawatirkan. Pemerintah China mulai mengambil langkah dengan menindak persaingan yang dianggap tidak sehat, serta memperketat pengawasan harga untuk mendorong kompetisi yang sehat.

Efek dari persaingan harga di China juga terasa di pasar global, terutama di pasar mobil listrik. Produsen mobil listrik China mulai “mengisi celah” yang ditinggalkan oleh pabrikan Eropa, meskipun beberapa tantangan muncul terkait dengan rantai pasok lokal di Eropa. Sejumlah produsen besar di Eropa seperti Ford dan Volvo bahkan telah memangkas jumlah tenaga kerja mereka sebagai respons terhadap meningkatnya tekanan dari produsen asal China. Artinya, persaingan harga di China tidak hanya berdampak lokal, namun juga merambah ke pasar global dengan potensi kerugian yang lebih luas.

Source link