Pertambangan di Raja Ampat harus dilihat secara komprehensif dengan data dan fakta yang objektif untuk memberikan informasi yang utuh kepada publik. Komisi XII DPR RI, yang menangani bidang Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Lingkungan Hidup, serta Investasi, telah melakukan Kunjungan Kerja Spesifik (Kunker) untuk mengumpulkan informasi terkait. Ketua Komisi tersebut, Bambang Patijaya, menjelaskan bahwa pertambangan di Raja Ampat harus dipertimbangkan dari aspek sosial, ekonomi, dan ekologi.
Pemerintah Prabowo secara tegas mencabut izin usaha pertambangan (IUP) dari empat perusahaan tambang nikel di Raja Ampat. Langkah ini dianggap relevan dengan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 yang menegaskan prinsip keberlanjutan dalam pengelolaan sumber daya alam. Bambang Patijaya memandang bahwa pencabutan IUP tersebut bukan hanya tindakan administratif, melainkan juga pesan penting bagi pengelolaan sumber daya alam secara bertanggung jawab.
Dalam konteks ini, Rifyan dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) menambahkan bahwa situasi pertambangan di Raja Ampat harus dilihat secara objektif dan komprehensif. Ditegaskan bahwa penting untuk menjaga lingkungan dengan memenuhi persyaratan AMDAL sebelum aktivitas pertambangan dimulai. HMI berkomitmen untuk mengawal dinamika pertambangan nasional sesuai dengan undang-undang dan kepentingan negara, serta menghimbau semua pihak untuk berkontribusi dalam pembangunan nasional.
Berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, negara memiliki kewajiban untuk mengelola sumber daya alam demi kemakmuran rakyat. Sebagai upaya pemulihan lingkungan pasca pertambangan, pemerintah juga diharapkan memperhatikan reklamasi dan rehabilitasi lahan bekas tambang untuk menjamin tanggung jawab perusahaan pasca tambang. Rifyan menutup dialog tersebut dengan menggarisbawahi pentingnya peran semua pihak dalam menjaga lingkungan dan membangun keberlanjutan sumber daya alam di Indonesia.