Fenomena Kumpul Kebo Meningkat: Kota Terbanyak di RI

by -53 Views

Fenomena ‘Kumpul Kebo’ di Indonesia, Terkait dengan ASN dan Pelanggaran

Belakangan ini, fenomena kumpul kebo semakin banyak ditemui di Indonesia, terutama di kalangan pasangan muda tanpa ikatan pernikahan yang memilih untuk tinggal bersama. Sangat menarik bahwa fenomena ini juga terjadi di kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN), di mana Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN), Zudan Arif, baru-baru ini memecat 8 ASN yang terlibat dalam kumpul kebo.

Pelanggaran yang dilakukan oleh ASN tersebut bermacam-macam, mulai dari ketidakhadiran di tempat kerja, penyalahgunaan narkoba, hingga kumpul kebo. Trend kumpul kebo sendiri dapat disebabkan oleh pergeseran pandangan masyarakat, khususnya anak muda, mengenai relasi dan pernikahan. Rekan dari The Conversation melaporkan bahwa saat ini banyak anak muda yang melihat pernikahan sebagai sesuatu yang rumit dan terlalu normatif, sehingga kumpul kebo dianggap sebagai bentuk hubungan yang lebih murni dan nyata dari cinta.

Namun, di wilayah Asia yang kental dengan budaya, tradisi, serta agama, kumpul kebo masih dianggap sebagai hal tabu. Meskipun demikian, jika terjadi, biasanya kumpul kebo hanya berlangsung dalam jangka waktu yang singkat sebagai langkah awal menuju pernikahan.

Studi terbaru pada tahun 2021 dengan judul ‘The Untold Story of Cohabitation’ mengungkapkan bahwa fenomena kumpul kebo lebih banyak terjadi di wilayah Timur Indonesia yang mayoritas penduduknya non-Muslim. Hal ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor seperti beban finansial, prosedur perceraian yang rumit, dan penerimaan sosial. Yulinda Nurul Aini, seorang peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menjelaskan temuannya bahwa sebagian populasi di kota Manado, Sulawesi Utara, melakukan kohabitasi.

Yulinda juga menyebutkan beberapa dampak negatif dari kumpul kebo, terutama bagi perempuan dan anak-anak. Dari segi ekonomi, dalam kohabitasi, ayah tidak memiliki kewajiban hukum untuk memberikan dukungan finansial seperti yang diatur dalam hukum perceraian. Dampak kesehatan dari kumpul kebo juga tidak bisa diabaikan, dimana konflik dalam hubungan kohabitasi dapat menurunkan kepuasan hidup dan kesehatan mental.

Selain itu, anak-anak yang lahir dari hubungan kohabitasi juga berisiko mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan, kesehatan, serta emosional. Hal ini bisa memberikan dampak serius terhadap identitas anak dan integrasinya dalam struktur keluarga dan masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk lebih memahami dampak negatif dari kumpul kebo dan menemukan solusi yang tepat untuk melindungi hak-hak perempuan dan anak dalam konteks ini.