Bank Indonesia (BI) telah menetapkan kebijakan pelonggaran Rasio Pendanaan Luar Negeri (RPLN) perbankan yang akan mulai berlaku pada 1 Agustus 2024. Nugroho Joko Prastowo, Kepala Grup Departemen Kebijakan Makroprudensial (DKMP) BI, menyatakan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk memperkuat pengelolaan pendanaan perbankan Indonesia di luar negeri.
Joko menjelaskan bahwa dalam kebijakan makroprudensial ini, BI akan melakukan dua langkah. Pertama, BI akan memperluas cakupan terkait dengan pinjaman luar negeri yang termasuk dalam kewajiban luar negeri jangka pendek terhadap rasio permodalan perbankan, yang sebelumnya ditetapkan maksimum 30%.
“Maksimum 30% sebelumnya berlaku untuk kredit yang disalurkan oleh kantor cabang bank di luar negeri,” kata Joko dalam Media Briefing di Kanambiru Beach Hotel, Waingapu, Sumba Timur.
Dia memberikan contoh bahwa jika bank B memiliki kantor cabang di London dan menyalurkan kredit di sana, maka ini dihitung sebagai kewajiban luar negeri yang besarnya diukur berdasarkan modal bank.
“Kita memberikan peluang kepada bank bahwa jika kredit luar negeri disalurkan oleh kantor cabang bank di luar negeri, tetapi DPK (Dana Pihak Ketiga) dari sana, misalnya DPK masyarakat London dan disalurkan di sana dalam dolar, itu tidak dihitung sebagai pendanaan luar negeri bank terhadap modalnya,” jelas Joko.
Oleh karena itu, rasio 30% akan berkurang. Kedua, lanjut Joko, BI menetapkan bahwa produk derivatif, yang merupakan turunan dari transaksi atau repo instrumen yang diterbitkan oleh pemerintah atau BI, tidak akan diperhitungkan.
“Termasuk ULN (Uang Lancar Negeri) jangka pendek, artinya memiliki underlying langsung…yang diterbitkan oleh pemerintah dan BI tidak akan dihitung juga,” ungkapnya.
Kebijakan ini diharapkan dapat meringankan rasio penyaluran kredit perbankan di luar negeri. “Kebijakan ini akan berlaku segera, yaitu tanggal 1 Agustus,” tegas Joko.
(haa/mij)