Bangladesh dilanda unjuk rasa besar para mahasiswa yang mirip dengan kondisi di Indonesia pada Reformasi 1998. Salah satu penyebab demonstrasi besar-besaran ini ternyata adalah soal sistem kuota pegawai negeri sipil (PNS) di Bangladesh. Selain itu, mahasiswa juga memprotes soal ketimpangan sosial dan maraknya korupsi.
Dikutip dari nytimes.com pada Minggu, (21/7/2024), protes tersebut muncul karena kemarahan mahasiswa terhadap sistem kuota untuk mendapatkan pekerjaan di sektor publik yang menguntungkan kelompok tertentu. Kuota pekerjaan itu diprioritaskan untuk keluarga pejuang kemerdekaan dari Pakistan, namun merugikan kelompok lainnya.
Para analis mengatakan pemberontakan tersebut juga mencerminkan kebencian yang lebih luas terhadap distribusi kekayaan dan peluang yang tidak merata dalam perekonomian yang mulai goyah setelah bertahun-tahun mengalami pertumbuhan pesat.
“Protes tersebut adalah tentang rasa frustasi yang dirasakan banyak orang mengenai pertumbuhan ekonomi yang tidak merata, dan adanya kesenjangan yang besar serta korupsi,” kata Direktur Program Asia di International Crisis Group, Pierre Prakash.
“Protes kuota hanyalah manifestasi dari kelesuan yang meluas bukan hanya soal kuota tapi juga ekonomi dan politik,” kata dia melanjutkan.
Dalam beberapa dekade terakhir, ekonomi Bangladesh meningkat pesat berkat kuatnya industri ekspor garmen. Jutaan orang berhasil keluar dari kemiskinan. Namun pandemi Covid-19 memberikan dampak yang sangat buruk bagi negara ini.
Permintaan global terhadap pakaian jeblok dan pengiriman uang dari diaspora pun menurun. Pada saat yang sama, konsumen dalam negeri harus menghadapi lonjakan inflasi yang menyebabkan harga makanan dan bahan bakar meningkat tajam.
Inflasi mencapai level 10%. Penciptaan lapangan kerja baru juga tersendat. Pada tahun 2022, tingkat pengangguran di kalangan muda negara mencapai 16,1 persen.
Pekerjaan di sektor publik atau pegawai negeri sipil amat diinginkan karena gajinya yang stabil dan dianggap bergengsi. Tetapi persaingan untuk menjadi PNS di Bangladesh amat sulit. Pemerintah hanya membuka 4.000 formasi per tahun. Sementara, jumlah pelamar mencapai 300.000 orang.
Dalam situasi seperti ini, sistem kuota yang memprioritaskan 56% formasi untuk kelompok tertentu membuat para mahasiswa marah besar. Pendiri Bangladesh, Sheikh Mujibur Rahman menciptakan sistem kuota itu pada 1972. Kuota ini diberikan kepada ribuan pria dan wanita yang dianggap berperan dalam perang kemerdekaan melawan Pakistan.
Sistem kuota ini diperluas pada 1997 dan 2010, meliputi anak dan cucu para veteran perang. Sistem itu malah menjurus pada pelestarian kelas elite dalam masyarakat yang dianggap tidak adil.