Fenomena Pengangguran China: Alasan yang Bikin Haru

by -9 Views

Di kalangan kaum muda pengangguran di China, fenomena pura-pura kerja semakin menjadi pembicaraan yang hangat. Mereka mempertahankan rutinitas seolah-olah bekerja meskipun sebenarnya tidak memiliki pekerjaan tetap. Contohnya adalah Xiao Ding, wanita berusia 30 tahun yang harus berhenti bekerja pada 2023 dan sejak itu menganggur selama hampir dua tahun. Meskipun sudah melamar ribuan posisi, Xiao Ding hanya mendapat sedikit panggilan wawancara yang berujung pada kegagalan. Bagi banyak orang seperti Xiao Ding, pura-pura kerja bukan sekadar untuk membuat diri terlihat sibuk, tetapi juga sebagai upaya mempertahankan rutinitas sehari-hari dan memberi diri dorongan untuk “terlihat” produktif.

Di kawasan perkotaan China, tingkat pengangguran pemuda usia 16-24 tahun (tanpa termasuk pelajar) mencapai 17,8 persen per Juli 2025. Seiring dengan tren pura-pura kerja ini, muncul usaha yang menyediakan ruang kerja tiruan seperti Pretend To Work Unlimited Company di Hangzhou. Dengan tarif terjangkau, orang-orang bisa menyewa meja, mengikuti absensi harian, dan merasakan atmosfer kantor yang sesungguhnya. Bagi banyak pengguna, keberadaan ruang kerja tiruan ini tidak hanya untuk menunjukkan produktivitas semata, tetapi juga sebagai cara untuk menjaga ritme hidup dan meningkatkan kepercayaan diri di tengah kesulitan.

Para ahli melihat bahwa pura-pura kerja ini sebenarnya merupakan strategi adaptasi terhadap tekanan ekonomi dan budaya yang menekankan pentingnya kerja keras dan produktivitas. Identitas seseorang di China sangat terkait dengan pekerjaan dan status sosial, sehingga di saat sulit, banyak orang berusaha mempertahankan identitas tersebut melalui cara-cara simbolis seperti rutinitas pura-pura kerja. Selain itu, rutinitas ini juga dianggap membantu menjaga kesehatan mental, memberi struktur harian, dan mengurangi rasa kehilangan arah.

Meskipun fenomena ini tidak sepenuhnya menyelesaikan masalah pengangguran di China, tetapi ia mencerminkan usaha kaum muda untuk menjaga martabat, harapan, dan rutinitas di tengah kondisi yang penuh tantangan. Bagi banyak orang, pura-pura kerja bukan sekadar tren viral, melainkan juga respons terhadap tekanan sosial, ketidakpastian ekonomi, dan kebutuhan psikologis untuk tetap merasa “berguna” dalam masyarakat.

Source link