Penggemar cokelat harus mempersiapkan diri untuk menghadapi kenaikan harga pada tahun depan meskipun harga kakao global mulai menurun dari level tertinggi. Lonjakan harga kakao dalam beberapa tahun terakhir disebabkan oleh faktor cuaca buruk, serangan hama, dan kelangkaan pasokan di wilayah Afrika Barat, yang menyumbang sekitar tiga perempat pasokan kakao dunia. Fenomena ini diperparah oleh inflasi ritel global yang membuat harga makanan ringan, termasuk coklat, naik lebih tinggi. CEO Lindt & Sprüngli, Adalbert Lechner, bahkan menyatakan keyakinannya bahwa harga kakao tidak akan kembali ke level rendah sebelumnya.
Meski harga berjangka kakao turun dari US$8.177 per ton metrik di awal tahun 2025 menjadi sekitar US$7.855 pada bulan Agustus, harga tersebut masih jauh lebih tinggi daripada tiga tahun sebelumnya yang hanya US$2.374 per ton. Namun, menurut ahli strategi komoditas pertanian di J.P. Morgan, Tracey Allen, penurunan harga kakao tersebut belum akan langsung dirasakan oleh konsumen karena masih ada efek tertunda yang membuat harga tinggi tetap bertahan.
Asosiasi produsen coklat Swiss Chocosuisse pun mengakui bahwa lonjakan harga kakao hingga empat kali lipat dalam dua tahun terakhir telah menekan margin keuntungan produsen baik skala kecil maupun besar. Meskipun sebagian kenaikan biaya sudah dialihkan ke konsumen, penyesuaian harga lebih lanjut masih mungkin terjadi. Meskipun demikian, analisis J.P. Morgan memprediksi bahwa pasokan akan membaik pada musim Paskah mendatang dengan cuaca yang lebih mendukung serta panen baru di Ekuador dan Brasil, meski harga kakao diperkirakan tetap tinggi di kisaran US$6.000 per ton.
Faktor lain seperti masalah produktivitas jangka panjang di Pantai Gading dan Ghana, serta beban tambahan seperti kenaikan upah minimum di Inggris dan tarif perdagangan di AS diyakini akan mengakibatkan harga coklat terus melambung. Dengan demikian, konsumen diharapkan harus siap menghadapi harga coklat yang masih mahal dalam waktu yang cukup lama ke depan.