Presiden Rusia, Vladimir Putin, dan Presiden China, Xi Jinping, tidak akan menghadiri pertemuan puncak BRICS di Brazil. Kebijakan ini menimbulkan pertanyaan apakah kedua negara pendiri BRICS, China dan Rusia, masih merasa relevan dengan nilai ideologis kelompok tersebut. Xi Jinping biasanya menghadiri pertemuan puncak BRICS selama 12 tahun terakhir, namun kali ini dia tidak akan hadir tanpa alasan resmi yang diberikan.
Sementara itu, Putin menghadapi surat perintah penangkapan dari pengadilan pidana internasional (ICC). Kemungkinan besar, keputusannya untuk tidak hadir di Rio de Janeiro sebagai bentuk penghormatan kepada Brazil yang merupakan penandatangan undang-undang ICC. Hal ini bukan kali pertama Putin memutuskan untuk tidak hadir dalam pertemuan BRICS, sebelumnya dia juga tidak hadir di pertemuan puncak BRICS di Afrika Selatan pada tahun 2023.
BRICS, yang berfungsi sebagai alternatif kelompok negara berkembang untuk menyeimbangkan kekuatan G7, telah mengalami perluasan yang signifikan akhir-akhir ini dengan penambahan anggota baru. Perluasan ini membuat badan tersebut terlihat lebih condong ke arah autokratik, yang membuat beberapa anggotanya seperti Brazil, Afrika Selatan, dan India merasa tidak nyaman. Brazil berpendapat bahwa penetapan kembali BRICS mencerminkan munculnya tatanan dunia baru yang sedang berkembang.
Mantan menteri luar negeri Brazil dan duta besar untuk Inggris, Antonio Patriota, menyatakan bahwa kebijakan luar negeri AS di bawah pemerintahan Donald Trump telah mempercepat transisi menuju dunia multipolar dengan distribusi kekuasaan yang lebih merata. Hal ini mungkin membawa pembentukan aliansi baru yang akan menantang distribusi kekuasaan global saat ini. Dia menekankan bahwa keberadaan dua kutub kekuatan, yakni Barat dan timur lainnya, semakin menguat dengan kebijakan AS yang kontroversial dalam hal perdagangan, keamanan, dan demokrasi.