Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump sedang merencanakan untuk merelokasi hingga 1 juta warga Palestina dari Gaza ke Libya secara permanen. Hal ini terjadi ketika Gaza kembali diserang oleh Israel dan Libya tengah berada di bawah sanksi internasional. Rencana ini sedang dipertimbangkan dengan serius di Gedung Putih, dengan sekitar setengah dari populasi Gaza yang diharapkan dipindahkan ke Libya. Untuk mewujudkan rencana ini, pemerintahan Trump bersedia untuk membuka kembali dana sebesar US$ 30 miliar yang telah diblokir bagi Libya satu dekade lalu.
Meskipun belum ada kesepakatan akhir mengenai pemindahan warga Palestina tersebut, namun rencana ini terus mendapat perhatian. Respons terhadap rencana ini bervariasi, dengan sejumlah sumber mengatakan bahwa situasi di Libya tidak ideal untuk menerima warga Palestina. Sejak awal masa jabatannya, Trump telah menekankan kesiapannya untuk mengambil alih kendali Gaza dan mengubahnya menjadi tempat peristirahatan di Laut Mediterania. Namun, rencana tersebut telah menuai kritik dari negara-negara Arab lainnya yang menilai hal ini melanggar hukum internasional dan merugikan warga Palestina.
Sementara itu, situasi di Libya terus memburuk sejak pemberontakan yang menggulingkan Muammar Gaddafi pada tahun 2011. Konflik internal antara pemerintah Persatuan Nasional dan Aparat Pendukung Stabilitas masih berlangsung, dengan keamanan yang belum stabil. Departemen Luar Negeri AS bahkan menganjurkan agar warga negara Amerika tidak melakukan perjalanan ke Libya karena situasi keamanan yang tidak kondusif. Keputusan Trump untuk merelokasi warga Palestina ke Libya telah mendapat penolakan dari sejumlah negara Arab lainnya, yang menilai ini sebagai tindakan yang mengancam stabilitas regional dan hak asasi warga Palestina.