Jakarta, CNBC Indonesia – Ekonom senior yang juga mantan menteri keuangan, Chatib Basri ragu dengan ide Presiden Terpilih Prabowo Subianto akan mendirikan Badan Penerimaan Negara (BPN) dengan memisahkan Direktorat Jenderal Pajak dari Kementerian Keuangan dalam waktu dekat, atau saat ia menjabat secara resmi mulai 2025 mendatang.
“Saya agnostik tentang itu, sejujurnya,” kata Chatib Basri saat berbicara dalam forum ISEAS Yusof Ishak Institute, Selasa (20/8/2024).
Chatib meragukan keputusan Prabowo yang lebih memilih untuk membentuk Badan Gizi Nasional melalui tangan Presiden Joko Widodo dengan Perpres 83/2024. Badan itu terbentuk untuk menjalankan program unggulan Prabowo, yakni makan bergizi gratis bagi anak sekolah.
Jika pembentukan BPN menjadi prioritas Prabowo, ia menekankan, seharusnya badan itu harus segera terbentuk sebagaimana Badan Gizi Nasional, sebelum ia dilantik pada Oktober 2024. Sebab, penyiapan anggarannya harus sudah dilakukan saat ini, saat dirancangnya RAPBN 2025.
“Jika anda ingin membentuk badan atau lembaga baru, anda harus membentuknya saat ini, karena anggarannya sedang disiapkan pemerintah saat ini,” ucap Chatib.
Chatib mengakui, sebelum pelantikan Prabowo sebagai Presiden pengganti Jokowi pada Oktober mendatang, memang masih ada ruang bagi Prabowo untuk kembali membentuk lembaga baru pada September. Namun, jika sampai September lembaga itu tak kunjung terbentuk, ia pastikan BPN tak akan terbentuk.
“Jika sampai September tak terbentuk juga maka BPN tidak akan terbentuk, karena anda tidak bisa transfer anggarannya ke lembaga baru itu kan, karena tidak teralokasi dalam RAPBN 2025,” ucap Chatib.
“Bagaimana bayar gaji pegawainya kalau tidak terbentuk BPN saat ini. Ini lah kenapa yang dilakukan saat reshuffle kemarin adalah penunjukkan Kepala Badan Bergizi Nasional,” tegasnya.
Di sisi lain, Chatib Basri menegaskan, isu untuk mengerek penerimaan negara bukan didasari pada pembentukan lembaga baru atau tetap mempertahankan otoritas pajak di Kementerian Keuangan.
Sebab, jika belajar dari negara yang punya BPN seperti Amerika Serikat maupun Australia, atau negara yang tetap mempertahankan otoritas pajaknya di bawah Kementerian Keuangan, sama-sama mampu meningkatkan rasio perpajakannya.
Namun, tergantung dari otoritas pajak atau penerimaannya yang mampu untuk melakukan reformasi administrasinya secara baik untuk memudahkan para wajib pajak memenuhi kewajibannya, serta untuk kembali meninjau belanja perpajakannya melalui efektifitas pemberian insentif pajak.
“Jadi bagi saya isunya bukan pemisahan, karena kesimpulan dari yang sudah saat ini tidak bisa kita benarkan mana yang lebih baik, melainkan isunya adalah bagaimana adjustment pembentukan lembaganya saat ini,” tutur Chatib Basri.
Selain itu, ia juga menekankan panjangnya proses pengubahan landasan hukum jika ingin membentuk BPN di Indonesia, mulai dari harus mengamandemen Undang-Undang Keuangan Negara yang menegaskan Ditjen Pajak merupakan subordinasi dari Kementerian Keuangan, hingga keharusan membuat peraturan pemerintah pengganti undang-undang bila tak ingin melakukan amandemen UU Keuangan Negara, namun proses politiknya tak akan mudah dan cepat karena harus mendapat persetujuan dari DPR.
“Jadi menurut saya pembentukan BPN akan dilakukan nanti-nanti, tidak pada 2025. Apalagi dalam pembentukan badan baru ada biaya yang besar untuk reorganisasinya, tatkala anda ingin meningkatkan penerimaan negara,” tegasnya.
(arj/mij)