Rupiah pada penutupan pekan lalu, Jumat (14/6/2024), berada di level Rp16.395/US$. Bahkan, mata uang Garuda ini sempat tembus ke level Rp 16.400/US$. Rupiah melemah signifikan sebesar 0,80% dalam sehari dan mencapai level terendah sejak April 2020, ketika Pandemi Covid-19 melanda Indonesia.
Pasar keuangan Indonesia libur panjang sejak Jumat pekan lalu dan kembali dibuka pada Rabu (19/6/2024). Sementara itu, Indeks dolar AS (DXY) mengalami kenaikan 4,13% hingga 18 Juni 2024 pukul 15:46 WIB. Penguatan DXY ini berdampak pada pelemahan mata uang di seluruh dunia.
Penguatan DXY tidak terlepas dari keputusan bank sentral AS (The Fed) yang cenderung meningkatkan tingkat suku bunganya dalam waktu yang lebih lama. Saat ini, suku bunga AS berada pada level 5,25-5,5%.
Gubernur BI, Perry Warjiyo, menyatakan bahwa pergerakan Rupiah masih dalam level yang stabil. Meskipun mengalami pelemahan, Rupiah tetap stabil dibandingkan dengan mata uang negara lain. Ia juga mengatakan bahwa BI akan terus memantau pasar keuangan dan siap untuk melakukan intervensi jika diperlukan.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menegaskan bahwa pelemahan Rupiah terhadap dolar AS disebabkan oleh sentimen negatif pasar terhadap kondisi ekonomi AS. Ekonomi AS terus membaik, membuat investor fokus pada tekanan inflasi yang sulit turun, sehingga Bank Sentral AS, The Federal Reserve, enggan menurunkan suku bunga fed fund rate.
Presiden Joko Widodo juga menyatakan bahwa nilai tukar Rupiah di kisaran Rp 16.200-Rp 16.300 per dolar AS masih dianggap baik. Ketidakpastian global menjadi pemicu pelemahan Rupiah, namun menurutnya, semua negara juga mengalami tekanan serupa.