Diskusi Antara Prodi HI UKI dan DPR RI mengenai Regulasi Intelijen di Indonesia

by -67 Views

Diskusikan Aturan Intelijen di Indonesia oleh Prodi HI UKI Bersama DPR RI

Undang-Undang No. 17/2011 menyatakan bahwa intelijen negara berperan dalam melakukan upaya, pekerjaan, kegiatan, dan tindakan untuk deteksi dini dan peringatan dini guna pencegahan, penangkalan, dan penanggulangan terhadap ancaman yang timbul dan mengancam kepentingan serta keamanan nasional.

Pernyataan ini disampaikan oleh Anggota Komisi I DPR RI, Mayor Jenderal TNI (Purn.) Dr. H. Tubagus Hasanuddin, S.E., M.M., M.Si, dalam Focus Group Discussion (FGD) “Aturan Tambahan dalam Spionase: Jejaring Atau Kuasa, Sebuah Diskursus” yang diadakan oleh Prodi Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Kristen Indonesia (UKI) bersama dengan Departemen HI UI, di Ruang Executive FEB Gedung AB UKI (11/06).

“Tugas intelijen negara adalah melakukan deteksi dan peringatan dini terhadap ancaman terhadap kepentingan dan keamanan nasional,” kata Tubagus Hasanuddin.

Menurut Tubagus, Undang-Undang Intelijen digunakan untuk mengatur kegiatan intelijen, namun yang paling penting adalah agar kegiatan ini didasari oleh moral agar tidak disalahgunakan untuk kepentingan lain.

Teknologi alat sadap telah berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir, memungkinkan pengawasan yang lebih efektif dan invasif. Meskipun teknologi ini dapat digunakan untuk tujuan keamanan yang sah, laporan dari Amnesty International menyoroti bagaimana alat ini sering disalahgunakan.

Lebih lanjut, Tubagus Hasanuddin menjelaskan bahwa dalam Undang-Undang Intelijen negara, isu yang rumit adalah penyadapan. “Penyadapan boleh dilakukan asalkan tetap menghormati hak asasi manusia,” katanya.

Guru Besar ilmu keamanan internasional Fisipol UKI, Prof. Angel Damayanti, Ph.D. menyebutkan pentingnya aturan mengenai penyadapan yang diatur dalam Rancangan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

“Yang terpenting adalah keamanan dan hak asasi manusia dalam aturan penyadapan atau spionase. Aparat penegak hukum harus menjaga keamanan negara tanpa merampas kebebasan individu,” ujar Prof. Angel Damayanti.

Prof. Angel menjelaskan bahwa RUU spionase, norma, dan etika dalam memperoleh informasi, serta pentingnya definisi yang jelas tentang ancaman untuk membuat regulasi yang efektif.

“Penting untuk menyamakan persepsi mengenai ancaman agar regulasi dapat berjalan lancar. Misalnya, dalam kasus terorisme, perempuan, remaja, dan anak dianggap sebagai korban, pelaku, atau ancaman. Regulasi juga harus jelas mengenai barang bukti digital yang diambil melalui spionase untuk menghindari ketidakadilan dalam hukuman,” jelas Prof. Angel.

Narasumber lainnya, Kepala Program Studi Hubungan Internasional Fisipol UKI, Arthuur Jeverson Maya, M.A., menyampaikan pandangannya tentang kontradiksi dalam hubungan negara dengan spionase, dan pentingnya kemajuan teknologi dalam mengakses informasi.

“Spionase melibatkan kegiatan pengawasan dan pengumpulan informasi secara rahasia. Kontradiksi antara keterbukaan dan kerahsian dalam hubungan negara dan spionase harus diatasi. Negara harus terus meningkatkan teknologi untuk memastikan informasi dapat digunakan efektif,” ujar Arthuur.

Diskusi tersebut juga dihadiri oleh Guru Besar Fakultas Teknik dan Ilmu Komputer Universitas Bakrie, Prof. Hoga Saragih, Ph.D; Direktur Riset Indo Pacific Strategic Intelligence, Aisha Rasyidilla Kusumasomantri, M.Sc dan Direktur Cesfas UKI, Darynaufal Mulyaman sebagai moderator.

“Diskusi terkait spionase dan intelijen harus terus dilakukan, dan tidak boleh melanggar etika serta moral. Penting untuk menjaga kebebasan berpendapat,” tutup moderator.

Sumber: https://mediaindonesia.com/humaniora/677584/prodi-hi-uki-bersama-dpr-ri-diskusikan-aturan-intelijen-di-indonesia

Source link