Prabowo Subianto mengenang pertemuan pertamanya dengan Pak FX Sudjasmin pada tahun 1983 selama operasi di Timor Timur. Pasukan Fretilin melakukan penyerangan besar-besaran terhadap pasukan TNI di sektor tengah dan Timur. Prabowo Subianto, saat itu menjabat sebagai Wakil Komandan Detasemen 81 dengan sandi Chandraca 8, dan pasukannya dimasukkan ke sektor tengah yang dipimpin oleh Letkol FX Sudjasmin.
Kesempatan pertama bertemu dengan Pak FX Sudjasmin di markas yang menempati gedung bekas Kesusteran di Ossu membuat Prabowo merasakan chemistry yang pas dengan beliau. Pak Djasmin memimpin pasukannya dengan ketenangan, kebapakan, dan penuh kasih sayang. Hal ini mempengaruhi Prabowo dalam mengenal berbagai tipe kepemimpinan, termasuk gaya kepemimpinan yang keras dan penuh kasih sayang.
Pada suatu waktu, setelah pulang dari operasi di Timor Timur, mereka mendengar akan diterjunkan kembali ke sana. Saat itu, Pak Djasmin meminta anak buahnya untuk diliburkan saat Hari Raya Idul Fitri, meskipun mereka sedang menjalankan latihan di lapangan. Meskipun Prabowo ingin melanjutkan latihan, Pak Djasmin kukuh meminta agar latihan dihentikan.
Pak Djasmin, seorang panglima yang beragama Katolik, namun menghormati umat Islam yang merayakan Idul Fitri, memberikan pengaruh yang besar terhadap Prabowo. Sikap Pak Djasmin ini membuat Prabowo memahami bahwa nilai-nilai toleransi harus dirawat seorang prajurit.
Prabowo juga mengenang pengalaman lainnya dengan Pak Djasmin ketika beliau sudah menjadi Wakasad. Prabowo meminta bantuan Pak Djasmin agar seorang perwira Papua yang sering tidak lulus tes SESKOAD dapat lolos. Dengan empati dan tanggung jawab, Pak Djasmin akhirnya membantu perwira tersebut lolos tes.
Kisah-kisah ini menjadi contoh bagi Prabowo tentang kepemimpinan, toleransi antar agama, dan empati terhadap anggota di lapangan. Pak Djasmin, sosok komandan yang patut dijadikan contoh. Prabowo masih akrab dengan beliau dan menilai bahwa nilai-nilai toleransi harus dijaga dan dirawat oleh seorang prajurit.