Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan bahwa penggunaan Energi Baru Terbarukan (EBT) di Indonesia saat ini hanya sebesar 12,2%. Hal ini masih di bawah target penggunaan EBT sebesar 23% pada tahun 2025 dan 34% pada tahun 2030.
Ir. Irwandy Arif, Staf Khusus Menteri ESDM bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batu Bara, menyatakan bahwa Indonesia memiliki potensi besar penggunaan EBT yang mencapai 3.600 Giga Watt (GW). Potensi ini bisa dimanfaatkan untuk mencapai target penggunaan EBT dan membantu mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) di dalam negeri.
Ia juga menyatakan bahwa dalam tahun 2024, Indonesia memerlukan pembangkit EBT hingga 13,6 GW untuk meningkatkan penggunaan energi baru terbarukan di dalam negeri. Selain itu, Irwandy mengakui bahwa saat ini masih banyak kontrak pembangkit listrik berbasis batu bara yang sedang berjalan, sehingga penggunaan listrik dari batu bara masih akan meningkat dan mencapai puncaknya pada tahun 2030. Namun, rencana penggunaan batu bara diharapkan bisa berkurang secara bertahap hingga tahun 2060.
Selain itu, Irwandy juga menjelaskan bahwa penerapan kebijakan pajak karbon, perdagangan karbon, program Just Energy Transition Partnership (JETP), serta Energy Transition Mechanism (ETM) dicanangkan untuk mendukung rencana pengurangan penggunaan batu bara. Secara keseluruhan, rencana ini membutuhkan investasi sebesar US$ 1,1 triliun atau sekitar US$ 28,5 miliar per tahun hingga tahun 2060.
Tak hanya itu, peningkatan nilai tambah mineral juga merupakan salah satu langkah penting dalam mendukung transisi energi di Indonesia. Mineral digunakan sebagai bahan baku pembangkit listrik tenaga surya, angin, dan nuklir, kabel distribusi, baterai kendaraan listrik, serta pembangkit energi baru terbarukan.