Biaya hidup di ibu kota Jakarta semakin tinggi, melebihi upah minimum provinsi (UMP). Harga barang dan jasa yang tinggi, serta tekanan inflasi membuat biaya hidup masyarakat semakin tinggi, sementara pendapatan mereka rendah.
Hasil survei Biaya Hidup (SBH) 2022 Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat biaya hidup di DKI Jakarta mencapai Rp 14,88 juta per bulan, naik dari Rp 13,45 juta per bulan dua tahun sebelumnya. Sementara UMP hanya sebesar Rp 5.067.381 pada 2024.
Analis Senior Indonesia Strategic and Economics Action Institution Ronny P Sasmita menjelaskan, tingginya biaya hidup di ibu kota disebabkan tekanan inflasi yang tidak sebanding dengan pendapatan masyarakat. Ini berdampak pada aturan kenaikan upah yang tidak mencerminkan realitas biaya hidup pekerja, karena data inflasi tidak akurat.
Beban harga bahan pokok dan transportasi, inflasi sektor properti, serta tingginya bunga dan pelemahan kurs rupiah juga ikut membebani masyarakat. Hal ini membuat kelas menengah kian mengejar tabungan dan kelas bawah terjerat pinjaman online.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat kredit macet pinjaman daring meningkat, sementara pertumbuhan tabungan terus menurun. Segmen mayoritas masyarakat hidup dari satu paycheck ke paycheck, tanpa tabungan, sehingga menggunakan kartu kredit dan pinjol semakin marak.
Ronny dan Ekonom Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menekankan pentingnya penghitungan upah berdasarkan inflasi volatile food, Personal Consumption Expenditures Price Index (PCEPI), dan survey tingkat kelayakan hidup yang lebih reliable dan representatif.
Mereka juga menyoroti rendahnya upah masyarakat, yang mendorong sektor informal tumbuh lebih besar dibandingkan dengan sektor formal. Hal ini terjadi karena masyarakat harus bekerja secara informal untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Bhima berpendapat bahwa kualitas pertumbuhan negara akan terancam jika biaya hidup tinggi dibiarkan terus meningkat. Salah satu solusinya adalah meningkatkan UMP dan menekan biaya hidup sebisa mungkin.
Tingginya biaya hidup juga memicu penggunaan sistem pinjaman dan kartu kredit yang lebih tinggi. Bhima menegaskan bahwa upah yang layak akan mendorong lebih banyak belanja dan menciptakan lapangan kerja baru, serta meningkatkan produktivitas.
Pemerintah diharapkan memberikan perhatian lebih untuk menekan biaya hidup masyarakat dengan memberikan subsidi secara besar-besaran. Negara maju memberikan perhatian khusus untuk biaya hidup masyarakat dan menaikkan upah minimum sebagai stimulus perekonomian.
Indonesia disarankan tidak menekan upah buruh, tapi seharusnya menaikkan upah kelas pekerjanya. Negara maju dengan standar upah minimum tertinggi memberikan contoh yang baik. Sebaliknya, Indonesia tidak boleh membandingkan upahnya dengan negara-negara berkembang, melainkan berlomba-lomba menaikkan upah seperti negara maju.
Tekanan biaya hidup tinggi dan upah yang rendah membahayakan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Bhima menegaskan agar pemerintah mengubah paradigma untuk menjadi negara maju dengan menaikkan upah minimum dan menekan biaya hidup masyarakat.