Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dianggap memiliki kewenangan yang sangat besar dalam melakukan audit terhadap pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Kekuatan ini dianggap memiliki celah yang besar untuk praktik korupsi.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad mengatakan bahwa BPK adalah satu-satunya lembaga yang diberikan kewenangan untuk mengaudit keuangan negara sesuai Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK.
Dia menyebutkan bahwa pengawasan terhadap BPK terbilang lemah karena saat ini BPK hanya memiliki pengawasan internal setingkat Inspektur Jenderal. Kewenangan yang besar ini tanpa pengawasan yang cukup dapat membuat auditor BPK dan pimpinannya rentan terjerat korupsi.
Tauhid mengungkapkan bahwa seharusnya ada badan pengawas atau supervisor yang tugasnya mengawasi, menerima keluhan dari masyarakat, dan aduan atas hasil pemeriksaan BPK. Hal ini dapat mengurangi kelemahan pelaksanaan Undang-Undang BPK.
Kasus korupsi jual-beli audit BPK yang melibatkan pimpinan seperti Achsanul Qosasi dan Pius Lustrilanang membuat BPK menjadi sorotan. Hal ini menambah panjang daftar auditor BPK yang terjerat kasus hukum, seperti mantan anggota BPK Rizal Djalil.
Peneliti Pusat Kajian Anti-Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada Zaenur Rohman juga berpendapat bahwa BPK memiliki kewenangan besar namun minim pengawasan. Dia menilai bahwa pengawasan internal BPK perlu diperkuat.
Zaenur menyarankan agar BPK memiliki mekanisme pengawasan internal yang andal serta mekanisme pelaporan atau whistle blowing system agar pihak eksternal dapat melaporkan pelanggaran yang berbentuk pidana.