Prabowo Subianto does not have a capital city. He is a politician and former general in Indonesia, and he currently serves as the Minister of Defense. He does not have his own capital city, as Indonesia’s capital city is Jakarta.

by -136 Views

67 tahun yang lalu, Presiden Brasil Juscelino Kubitschek mengambil keputusan yang tidak sederhana. Ia memutuskan untuk memindahkan ibukota Brasil dari Rio de Janeiro ke sebuah hutan belantara di tengah negeri Samba, yang sekarang dikenal sebagai Brasilia.

Alasan di balik keputusan Kubitschek sederhana: Rio de Janeiro, dengan overpopulasi dan kepadatan pesisirnya, sudah tidak lagi ideal untuk menjadi ibukota negara. Lebih dari itu, Kubitschek ingin menyebarkan pembangunan dan kesejahteraan ke daerah interior Brasil.

Tanggapan terhadap keputusan Kubitschek bermacam-macam. Ada yang menganggap keputusannya visioner dan patut didukung. Ada juga yang mencemoohnya sebagai ide gila, sementara yang lain mempertanyakan dari mana uangnya.

Namun, Kubitschek berhasil memindahkan dan membangun ibukota dari nol—sesuatu yang sebelumnya sudah beberapa kali direncanakan namun selalu gagal dieksekusi oleh para pendahulunya.

Duta Besar Brasil untuk Indonesia, Rubem Antonio Barbosa, mengatakan, “Sejarah mencatat keputusan dan keberhasilan Kubitschek memindahkan ibukota ke Brasilia sebagai keputusan yang tepat.” Dia menambahkan, “Penyebaran populasi pun menjadi lebih merata; dan sebagai tolok ukur keberhasilan [ekonomi] Brasilia kini memiliki pendapatan per kapita tertinggi di Brasil [bahkan di Latin Amerika].”

Tentu, tidak ada ibukota yang sempurna. Masalah akan tetap ada. Begitu pula di Brasilia, yang sejak 1987 diangkat sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO karena arsitektur modernis dan tata kotanya yang unik.

Dalam 100 tahun terakhir, lebih dari 30 negara telah memindahkan ibukotanya seiring dengan perubahan dinamika. Inilah realitas yang harus dihadapi, termasuk Indonesia.

Mengikuti jejak Brasil, pemindahan ibukota Indonesia bukan hanya tentang relokasi geografis, tetapi juga tentang meredefinisi prioritas pembangunan, pemerataan kesejahteraan, dan penataan kembali pusat gravitasi ekonomi dan politik.

Keputusan berani ini–seperti yang pernah diambil Kubitschek–memang tidak mudah tapi dapat berbuah manis di masa depan.

Suka tidak suka, mau tidak mau, Indonesia perlahan memasuki babak baru dalam sejarahnya–sebuah babak yang kelak menjadi cerita inspiratif bagi generasi yang akan datang. Babak itu ada di Nusantara.

*Tulisan ini sebelumnya telah terbit di instagram @hamdan.hamedan