Industri tekstil nasional Indonesia mengalami krisis serius yang terjadi akibat kolapsnya 60 pabrik tekstil, menyebabkan pemutusan hubungan kerja terhadap 250 ribu buruh selama periode 2022-2024. Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wiraswasta, menjelaskan bahwa tekanan dari barang impor, baik legal maupun ilegal, menjadi penyebab utama dari fenomena ini. Pada tahun 2022, industri tekstil Indonesia mulai pulih dari dampak pandemi COVID-19 dengan pertumbuhan mencapai 9%, namun situasi berubah pada kuartal IV-2022 ketika China mulai membuka pelabuhannya dan produk impor mulai membanjiri pasar Indonesia.
Barang impor dari China yang dijual dengan harga murah akibat overstock selama hampir dua tahun menekan produk lokal, menyebabkan banyak perusahaan mengurangi tenaga kerja dan melakukan PHK. Meskipun sebagian besar perusahaan masih bertahan pada tahun 2023, tahun 2024 menjadi puncak krisis dengan banyak pabrik memutuskan untuk tutup secara permanen. Impor ilegal turut memperparah kondisi industri tekstil nasional, membuat produk lokal sulit bersaing di pasar.
Redma mengakui sulitnya mendapatkan data pasti terkait jumlah PHK, namun perkiraan APSyFI mencatat bahwa lebih dari 250 ribu pekerja ter-PHK dan 60 pabrik kolaps selama periode tersebut. Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer Gerungan juga memastikan bahwa 60 pabrik tekstil kolaps dengan jumlah PHK sekitar 250 ribu orang karena impor ilegal yang memperburuk kondisi industri tekstil. Langkah konkret diharapkan diambil oleh instansi terkait untuk mengatasi masalah ini.