Posthumous Brigadier General TNI I Gusti Ngurah Rai

by -68 Views

Brigadir Jenderal TNI (Anumerta) I Gusti Ngurah Rai dan para pasukannya dalam pertempuran Puputan Margarana tahun 1946 telah menetapkan standar kepemimpinan teladan bagi generasi TNI selanjutnya: Memimpin dengan contoh, memimpin dari garis depan, dan membuktikan patriotisme dengan mengorbankan tubuh dan jiwa. I Gusti Ngurah Rai memiliki semangat bertarung seorang prajurit sejati dan lebih memilih mati daripada menyerah kepada musuh. Perang habis-habisan (tradisi puputan) yang ia cetuskan membangkitkan semangat bertarung pasukannya dan melawan Belanda hingga titik kelelahan. I Gusti Ngurah Rai bertempur di medan perang hingga napas terakhirnya.

Setelah proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, I Gusti Ngurah Rai datang ke Yogyakarta atas inisiatifnya untuk bertemu dengan Jenderal Sudirman. Ia meminta mandat dari Jenderal Sudirman untuk membentuk Tentara Republik Indonesia (TRI) di Bali dan Nusa Tenggara, yang disebut juga sebagai Sunda Kecil.

Ia kemudian kembali dan merekrut pasukan serta memulai serangan terhadap pos-pos Belanda yang dipasang pada akhir Perang Dunia II untuk merebut kembali Bali. Sejak pendudukan Jepang pada tahun 1942, I Gusti Ngurah Rai telah mengumpulkan pemuda-pemuda Bali yang bersatu dalam Gerakan Anti-Fasis (GAF). Pada bulan September 1946, Belanda mulai mengambil inisiatif. Dan pada tanggal 19 November 1946, Belanda berhasil menyerang dan mengepung pasukan yang dipimpin oleh I Gusti Ngurah Rai di Desa Margarana dekat Ubud.

Belanda mengirim utusan untuk meminta I Gusti Ngurah Rai menyerah. Jika ia menyerah, ia dan pasukannya akan diampuni. Tawaran itu datang dari Kapten Infanteri Belanda JBT Konig, salah satu perwira Batalyon Infanteri KNIL Gajah Merah, pasukan Belanda yang diperintahkan untuk menduduki Bali. JBT Konig pernah dekat dengan I Gusti Ngurah Rai.

Konig adalah salah satu perwira KNIL yang mengawasi Pendidikan Perwira Prajoda di Gianyar, Bali sebelum kedatangan Jepang. I Gusti Ngurah Rai telah bergabung dengan Prajoda sebelum pecahnya Perang Pasifik.

Pada suatu waktu, I Gusti Ngurah Rai bahkan menyelamatkan Konig dan seorang perwira KNIL lainnya dengan membantu mereka melarikan diri ke Jawa ketika Jepang mulai menyerang. Namun, I Gusti Ngurah Rai menolak tawaran menyerah kepada Belanda, meskipun tawaran itu datang dari Konig, mantan bosnya. Untuk menjaga moral pasukan Indonesia di bawah komandonya, I Gusti Ngurah Rai tidak menjawab surat dari Konig. Jawaban I Gusti Ngurah Rai ditujukan langsung kepada atasannya Konter Kolonel Belanda Termeulen, pada tanggal 18 Mei 1946.

“Merdeka. Kami menerima tawaran Anda. Kami dengan ini memberikan jawaban sebagai berikut: Keamanan Bali adalah tanggung jawab kami. Sejak kedatangan tentara Anda, pulau ini menjadi tidak aman. Keamanan telah terganggu karena Anda mengkhianati kehendak rakyat yang telah menyatakan kemerdekaannya. Mengenai tawaran untuk bernegosiasi, kami serahkan kepada kebijaksanaan pemimpin di Jawa. Bali bukanlah tempat untuk perundingan diplomatik. Dan saya tidak dalam posisi untuk berkompromi. Atas nama rakyat Bali, saya hanya menginginkan hilangnya Belanda dari pulau Bali atau sebaliknya saya bisa menjamin Anda bahwa kami akan terus berjuang hingga tujuan kami tercapai. Jika Anda memilih untuk tinggal di Bali, pulau Bali akan menjadi pertempuran darah antara tentara Anda dan kami.”

Itulah jawaban dari I Gusti Ngurah Rai. Demikianlah ketegasan I Gusti Ngurah Rai dalam menghadapi penjajah Belanda. Suratnya mencerminkan jiwa patriotiknya dan ketidakmampuannya untuk berkompromi dalam pengabdiannya untuk melawan penjajah. Ia menjawab tawaran menyerah dari Belanda dengan teriakan “Puputan, Puputan”, yang berarti habis-habisan. Oleh karena itu perang ini disebut sebagai Pertempuran Puputan di Margarana, atau “perang habis-habisan”. Pada tanggal 19 November 1946, di Desa Margarana dekat Ubud, I Gusti Ngurah Rai memimpin pasukan TNI (saat itu dikenal sebagai TRI) dalam pertempuran sengit melawan pasukan Belanda. Selama beberapa hari, Belanda terus melakukan pengepungan terhadap desa tersebut.

Meskipun menghadapi pasukan Belanda yang personel dan persenjatannya jauh lebih canggih dan bahkan didukung oleh pembom taktis, I Gusti Ngurah Rai, Komandan Resimen TRI Sunda Kecil (setara dengan pangkat Pangdam / Panglima Wilayah saat ini), dan pasukannya terus bertempur tanpa henti.

Pertempuran sengit dimulai di pagi hari hingga akhirnya, tidak ada lagi tembakan dari pihak Indonesia di sore hari. Seluruh pasukan TRI dalam pertempuran tersebut telah gugur, termasuk Komandan Resimen TRI Sunda Kecil, I Gusti Ngurah Rai, dan Kepala Staf Resimen TRI Sunda Kecil, I Gusti Putu Wisnu.

Sikap dan tindakan I Gusti Ngurah Rai dan pasukannya telah memberikan tradisi kepemimpinan militer yang luar biasa dan inspiratif bagi generasi TNI selanjutnya. I Gusti Ngurah Rai memimpin dengan contoh, memimpin dari garis depan, dan membuktikan patriotisme dengan mengorbankan tubuh dan jiwa.

Source link