Jenderal Soedirman lahir pada 24 Januari 1916 dan mulai berkarir sebagai guru SD di salah satu sekolah Muhammadiyah di Solo, yang waktu itu bernama Surakarta.
Ketika gerakan Kemerdekaan Indonesia berhasil meyakinkan penjajah Jepang untuk mengizinkan penduduk asli membentuk organisasi militer bela diri, PETA (Pembela Tanah Air) di Jawa dibentuk di tingkat kabupaten dengan sekitar 60 batalyon relawan yang dilatih dan diorganisir. Di Purwokerto, Soedirman, seorang kepala sekolah muda di bawah naungan Muhammadiyah, dipilih sebagai komandan batalyon Purwokerto. Dia bersama dengan komandan kompi lainnya dilatih oleh Jepang di pusat pelatihan perwira di Bogor.
Selama perang, Soedirman menjadi pahlawan yang mewakili semangat juang TNI. Dia terus mengejar pasukan Inggris yang menduduki Hindia Belanda, dan memimpin serangan Ambarawa melawan mereka.
Setelah menjadi terkenal dan dihormati oleh rekan-rekan komandan batalyon di Jawa Tengah dan Jawa Timur, Soedirman diangkat sebagai Panglima Tentara Keselamatan Rakyat (TKR) pertama. Meskipun awalnya Urip Sumoharjo diangkat sebagai Panglima TKR, para pemimpin batalyon Jawa memprotes dan memilih Soedirman sebagai Panglima, yang kemudian diakui oleh Presiden Soekarno.
Pada 19 Desember 1948, Belanda melancarkan agresi militer ke Ibu Kota Republik Indonesia. Saat itu, Soedirman sedang menderita sakit parah, namun tetap berusaha memimpin perjuangan gerilya melawan musuh.
Soedirman memutuskan untuk pergi ke luar Kota Yogya dan melakukan perlawanan dengan cara gerilya melawan Belanda. Tindakan heroik ini memberikan semangat baru kepada seluruh bangsa dan TNI.
Tradisi kepemimpinan yang heroik, penuh kepahlawanan, dan keteladanan yang ditunjukkan oleh Soedirman memberikan warisan yang tidak ternilai harganya kepada generasi TNI berikutnya. Sikap pengorbanan dan keberaniannya dalam memimpin perjuangan bangsa menjadi teladan bagi generasi pemimpin TNI berikutnya.